Di koran harian Nasional Republika (13 Juni 2012) dengan tegas memuat Headline beritanya “Ancaman Narkoterorisme”, saya melihatnya sebuah kesengajaan dari media ini mendedah berita pembukaan International Drug Enforcement Conference (IDEC) ke-29 di Nusa Dua Bali dalam sebuah frame propaganda tedensius.
Dibulan
April istilah narkoterorisme mulai di gulirkan oleh Ansyad Mbai (Ketua
BNPT), dalam beberapa kesempatan juga sudah diungkapkan di publik. Dan
sekarang istilah itu kembali meluncur dari mulut wakil presiden RI,
Boediono dalam sambutanya di IDEC. Analisa saya ini bukan terpeleset,
tapi konten pidato yang sengaja dan sudah disiapkan oleh konseptornya
seperti halnya dibulan kemarin ketika Boediono mengkritisi suara adzan
di Masjid.
Kita
perlu berani obyektif dan kritis, dalam kasus kejahatan narkotika apakah
benar sudah lahir fenomena narkoterorisme seperti halnya dikawasan
Amerika Latin? Atau itu hanya sebagai earlywarning tentang
potensi simbiosis mutualisme antara dua poros kejahatan (kartel
narkoba-terorisme)? Atau dalam konteks Indonesia, itu tidak lebih dari
sekedar propaganda dan penyesatan opini oleh BNPT dengan kepentingan
politik dibelakangnya?
Coba kita timbang, fakta empiris kita jumpai sebelum muncul drama terorisme di Indonesia, kejahatan narkotika sejatinya sudah tumbuh subur dinegeri ini bahkan mulai menggurita dengan jejaring meluas baik dari aspek teritorial maupun segmen pasarnya. Dan itu terjadi nyaris tanpa ada jejak irisan dengan fenomena “terorisme”.
Ketika
melihat pilihan judul yang menjadi headline koran Republika, bisa
ditangkap cita rasa adanya kesengajaan mendramatisir persoalan bahkan
bombastis (membesar-besarkan) tanpa melihat derivate persoalan secara
holistik. Coba kita timbang, fakta empiris kita jumpai sebelum muncul
drama terorisme di Indonesia, kejahatan narkotika sejatinya sudah tumbuh
subur dinegeri ini bahkan mulai menggurita dengan jejaring meluas baik
dari aspek teritorial maupun segmen pasarnya. Dan itu terjadi nyaris
tanpa ada jejak irisan dengan fenomena “terorisme”.
Hingga
tahun 2011 saja berdasarkan hasil riset BNN dan Puslitkes UI, angka
prevalensi penyalahgunaan narkoba 2,2 persen setara dengan 4,2 juta
orang dari total penduduk Indonesia dengan rentang usia antara 10-59
tahun. Dan angka tersebut diprediksi terus merangkak naik bisa sampai
level 2,8 persen atau sekitar 5,1 juta orang di tahun 2015.Dari data BNN
dan Puslitkes UI juga didapatkan angka:
- Ganja yang bisa disita aparat 245,2 ton dan perkiraan yang masih beredar lolos dari aparat sekitar 241,8 ton.
- Sabu yang berhasil disita aparat 234,5 Kg dan perkiraan yang lolos masih cukup besar yaitu 49.656,5 Kg.
- Ektasi yang bisa disita 882,880 butir dan perkiraan yang masih beredar dipasaran sekitar 147,1 juta butir.
- Heroin yang tersita 27,413 Kg dan yang masih lolos sekitar 1.842,587 Kg.
- Kokain yang tersita 176,17 Gram dan perkiraan yang lolos 32,823 Kg. Beberapa waktu yang lalu publik juga disuguhi berita, BNN berhasil menyita hampir 1,5 juta butir pil ektasi dari Cina dengan taksiran nilai lebih dari Rp 400 miliar dan kasus yang serupa dibulan sebelumnya (Mei 2012) Polda Metro Jaya menemukan sabu asal Cina seberat 352 Kg senilai Rp 702 miliar.
Kerugian
negara ditaksir hingga Rp 50 triliun pertahun akibat kejahatan narkoba
dan sedikitnya telah menewaskan 15 ribu anak remaja setiap tahunnya
karena sebab narkoba.
Indonesia
terbukti menjadi surga bagi pedagang narkoba, dengan jumlah populasi
penduduk yang sangat besar menjadi pasar potensial.Disamping karena
harga narkoba yang cukup tinggi dan murahnya ongkos kurir Indonesia
menjadi satu keuntungan yang luar biasa kenapa Indonesia menjadi incaran
produsen narkoba.
Disamping
titik-titik kelemahan dari aparat penegak hukum yang demikian terbuka
mudah di “bungkam” dengan fulus oleh mafia narkoba menjadi “obat viagra”
tersendiri, atau bahkan mau terlibat bermain dalam jejaring bisnis
haram ini. Belum lagi ada peluang mendapatkan grasi dari presiden
seperti dalam kasus Corby, menjadi angin surga yang menjanjikan
Indonesia bisa menjadi basis potensial pasar peredaran narkoba dari
jaringan Internasional.
Nah,
pertanyaannya adalah; dari angka-angka empiris diatas berapa persen yang
disana ada simbiosis mutualisme dengan kejahatan “teroris” dalam
konteks Indonesia? Atau sebatas indikasi sekalipun, berapa banyak
(persen) orang-orang yang disangka “teroris” terlibat dalam kejahatan
narkoba ini? Bermain dengan para mafia untuk mendapatkan keuntungan demi
pembiayaan agenda “terorisme”nya.
Saya lihat dalam pertemuan IDEC di Nusa Dua Bali (Selasa, 12/2012) seolah menjadi deklarasi terminologi “baru” yaitu “narkoterorisme” bagi BNN dan selaras dengan keinginan BNPT.
Saya
lihat dalam pertemuan IDEC di Nusa Dua Bali (Selasa, 12/2012) seolah
menjadi deklarasi terminologi “baru” yaitu “narkoterorisme” bagi BNN
dan selaras dengan keinginan BNPT.
“Terorisme” di Indonesia mendapatkan brand (merk)
baru berdasarkan indikasi versi BNN dan BNPT karena adanya keterkaitan
beberapa gelintir orang yang terduga “teroris” dengan transaksi illegal
narkoba.
Kemudian
kejahatan dibidang narkoba yang sudah demikian menggurita dengan
jejaringnya yang cukup mapan tidak menjadi lebih penting untuk
ditelanjangi dan di ungkap dibandingkan usaha membranding term baru untuk Indonesia “narkoterorisme”.
Padahal
sejatinya kebenaran “narkoterorisme” sangat debateble, karenanya tidak
salah jika munculnya ungkapan ini dari BNPT (Ansyad Mbai) beberapa bulan
lalu dinilai sebagai propaganda dan opini yang tedensius dalam konteks
kontra-terorisme.
Yang
lebih penting lagi, kita menangkap “narkoterorisme” sebagai opini yang
gegabah dan sengaja atau tidak telah menyudutkan umat Islam.
Awalnya Narcoterrorism
adalah istilah yang diciptakan oleh mantan Presiden Peru Fernando
Belaunde Terry pada tahun 1983 ketika menggambarkan teroris-jenis
serangan terhadap polisi anti-narkotika Peru-.
Dalam
konteks aslinya, narcoterrorism dipahami sebagai upaya para pedagang
narkotika untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah atau masyarakat lewat
kekerasan dan intimidasi, dan menghalangi penegakan hukum dan
administrasi keadilan dengan ancaman atau penggunaan sistematis seperti
kekerasan.
Kekerasan
kejam Pablo Escobar dalam berurusan dengan pemerintah Kolombia dan Peru
mungkin salah satu contoh yang paling dikenal dan terbaik
didokumentasikan narcoterrorism, (Wikipedia).
Rasanya
masghul sekali kalau kemudian istilah ini diadopsi oleh BNPT dan BNN
untuk mengambarkan potensi ancaman terhadap keamanan dari entitas yang
di klaim sebagai “teroris” di Indonesia.
Banyak
deferensiasi yang tidak compatible fenomena “terorisme” di Indonesia
versi BNPT saat ini untuk di sematkan gelar baru “narkoterorisme”. Hanya
karena ada indikasi orang-orang tertentu terduga “teroris” terlibat
dalam bisnis narkoba kemudian didramatisir sedemikian rupa bahwasanya
telah lahir narkoterorisme.
Fenomena
di Peru, Meksiko atau wilayah Kolumbia narkoterorisme domainnya adalah
keuntungan dari bisnis narkoba oleh kelompok tertentu hingga harus
berhadapan dengan negara yang hendak memberangusnya. Dan tidak hanya
berhadapan tapi sampai pada tingkat mempengaruhi kebijakan politik
dengan spirit utama menguasai negara untuk menjamin eksistensi bisnis
narkoba.
Dari jalan lobi (negosiasi) hingga hard power (terror kekerasan)
akan dilakukan oleh kelompok pebisnis narkoba demi tercapainya
kepentingan mereka. Dan dalam konteks Indonesia, apakah sudah sepadan
istilah itu di munculkan begitu saja dalam proyek kontra-terorisme? Apa
motif tindakan “teroris” di Indonesia sudah sama dengan para pedagang
narkoba seperti di Peru yaitu karena uang melalui bisnis haram narkoba?
Justru
disini kita bisa melihat bahayanya terminologi ini via konsistensi alur
berfikir yang dikembangkan oleh BNPT tentang terorisme.
Dan sampai hari ini logika ini belum bergeser, perang melawan terorisme secara implisit akhirnya dimaknai perang terhadap “terror” dan orang-orang yang dianggap punya cita-cita mendirikan negara Islam atau Khilafah Islamiyah.
Tentang terorisme, tidak ada kesepakatan global tentang definisinya (no Global concencus), namun disepakati bahwa itu sebagai extra ordinary crime.Dalam
konteks Indonesia identifikasi teroris sudah jelas menyudutkan entitas
tertentu dari umat Islam, semisal bahwa visi terorisme di Indonesia
adalah hendak mendirikan negara Islam atau Khilafah Islamiyah.
Dan
sampai hari ini logika ini belum bergeser, perang melawan terorisme
secara implisit akhirnya dimaknai perang terhadap “terror” dan orang-orang yang dianggap punya cita-cita mendirikan negara Islam atau Khilafah Islamiyah.
Kalau
kemudian dicangkokkan sebutan baru “narkoterorisme”, maka makna rasional
istilah tersebut dalam konteks Indonesia dalam prespektif BNPT adalah
kejahatan “teroris” yang hendak mendirikan negara Islam dengan melakukan
kejahatan extra ordinary (dagang narkoba) sebagai sumber pendanaan.
Inilah derivate
konskuensi dari terminologi narkoterorisme, secara sengaja atau tidak
sudah melemparkan kotoran kewajah umat Islam. Betapa naifnya, hendak
mendirikan negara Islam dengan menggalang dana dari bisnis haram.
Artinya sama saja para pendamba negara Islam itu seperti orang ateis
(komunis) yang memegang kaidah “al ghoyah tubarrirul washitoh” (tujuan boleh menghalalkan segala cara).
Apakah
benar demikian metoda mendirikan negara Islam? Tentu ini adalah fitnah
yang luar biasa. Kalau dalam khasanah pemikiran Islam, sebuah pemikiran (isme) bisa
dinisbahkan kepada sebuah bangsa seperti Arabisme atau kepada peletak
dasar pemikiran tersebut seperti Marxisme, Leninisme dan bisa juga
dinisbahkan kepada Ideologi yang mendasari seperti Kapitalisme,
Komunisme dan Pemikiran Islam.
Dalam isu “narkoterorisme” saya lebih memilih istilah yang lebih tepat “Mbaiterorisme”, sebuah istilah yang menggambarkan pemikiran tentang terorisme dalam konteks Indonesia versinya Ansyad Mbai (Ketua BNPT).
Dalam isu “narkoterorisme” saya lebih memilih istilah yang lebih tepat “Mbaiterorisme”, sebuah istilah yang menggambarkan pemikiran tentang terorisme dalam konteks Indonesia versinya Ansyad Mbai (Ketua BNPT).
Banyak
istilah yang dilihat dari historikal kelahiran dan makna aslinya ketika
di adopsi oleh BNPT dalam isu terorisme sudah mengalami bergeseran makna
dan maksud politik yang sangat bias, contoh kongkritnya adalah
propaganda “narkoterorisme”.
Sebuah istilah untuk membungkus nafsu BNPT
melangengkan proyek kontra-terorisme di Indonesia dengan target
mengalenasi gerakan formalisasi Syariat Islam.
Dan upaya BNPT untuk mewujudkan dominasi ideologi sekuler-liberalisme di Indonesia dengan berbagai cara semisal penyesatan opini melalui istilah narkoterorisme.Dan dalam terminologi narkoterorisme juga membuka kemungkinan simbiosis mutualisme (perselibatan) antara BNPT (Ansyad Mbai) yang phobi Islam dengan BNN (Gories Mere) Salibis fundamentalis untuk memberangus para aktifis Islam.
Inilah sebuah gambaran wajah yang kehabisan akal untuk menjaga kontinuitas proyek global war on terrorism (GWOT) ala Amerika Serikat di wilayah Indonesia. Wallahu a’lam.
Oleh:Harits Abu Ulya
Pemerhati Kontra-Terorisme & Direktur CIIA -The Community Of Ideological Islamic Analyst-
source:voaofislam/jum'at,15juni2012