Laman

Rabu, 13 Juni 2012

Sekjen FUI: Pelanggaran Gramedia Lebih Besar Dibanding Arswendo

Jakarta - Penghinaan dan penistaan yang dilakukan Penerbit Gramedia dinilai Sekjen Forum Umat Islam (FUI) KH Muhammad Al Khaththath jauh lebih besar dibanding kesalahan yang dilakukan Pemred Monitor Arswendo Atmowiloto. Karenanya Gramedia tidak cukup hanya dengan meminta maaf.
 

"Tidak cukup hanya minta maaf, pelanggarannya lebih besar dari pada Arswendo dulu. Itu saja reaksi umat Islam  sudah keras dan mengobrak-abrik kantor Tabloid Monitor. Monitor segera dibrendel dan Arswendo ditangkap dan diadili serta dijebloskan ke penjara. Nah yang ini menghina Nabi Muhammad SAW, dengan menyebut sebagai perompak tentu lebih parah", kata Ustadz Al Khaththath kepada Suara Islam Online, Senin (11/6/2012).

Menurut Ustadz Al Khaththath harusnya aparat kepolisian segera menangkap dan meminta pertanggungjawaban Gramedia. "Mereka yang terlibat dalam penerbitan buku yang menghina Nabi Muhammad SAW, baik penerjemahnya, editornya juga redaktur produksi dan Dirut Gramedia," katanya.

Lantas, sikap apa yang akan dilakukan Forum Umat Islam?. "Yang jelas penghinaan agama Islam yang tak bisa dibiarkan begitu saja. Kita akan segera ambil langkah-langkah penting termasuk insya Allah membentuk Tim Pembela Islam untuk atas kasus ini atau mungkin kita akan mengadakan demo ke kantor Gramedia," jawabnya.

Tapi, sebelum amarah umat Islam meledak, Ustadz Al Khaththath menyarankan agar Jacob Oetama sebagai pendiri sekaligus pemilik Kompas Gramedia Group (KKG) segera melakukan pembersihan terhadap seluruh anasir antiIslam di KKG. "Apalagi kabarnya beliau sudah masuk Islam dan umroh berkali-kali," ungkapnya.

"Umat harus bersatu tuntaskan hal ini jangan beri kesempatan siapapun menghina Baginda Nabi SAW", seru Ustadz Al Khaththath.

Penghinaan Gramedia Lebih Parah dari Monitor
Penghinaan yang dilakukan Gramedia memang lebih besar dari yang dilakukan Arswendo. Arswendo membuat ulan di tabloid Monitor yang dipimpinnya pada edisi 15 Oktober 1990. Saat itu ia merilis hasil polling bertajuk "Kagum 5 Juta". Menurut hasil jajak pendapat itu, yang paling dikagumi pembaca Monitor adalah Soeharto di urutan teratas, disusul BJ Habibie, Soekarno, dan musisi Iwan Fals di tempat ke-4. Arswendo di peringkat 10, sedangkan Nabi Muhammad berada satu tingkat di bawahnya, nomor 11.

Semesta Islam di Indonesia bergolak. Arswendo dituding melecehkan Islam. Pada 17 Oktober 1990, massa datang sporadis, meneriakkan hujatan kepada Arswendo. Para pendemo membakar habis patung Arswendo yang dibuat dari kertas tabloid Monitor. Pada 22 Oktober 1990, massa mengepung kantor Monitor. Mereka melempari kantor, menerobos ruang redaksi, mengaduk-aduk arsip, menghantam komputer, serta menjungkir-balikkan kursi dan meja.

Organisasi massa Islam, termasuk Himpunan Mahasiswa Islam dan Pemuda Muhamadiyah, naik darah. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Hasan Basri, menyerukan kecaman. “Angket yang dimuat Monitor telah menjurus ke hal SARA. Keyakinan adalah hal yang sangat hakiki, tidak boleh dibuat suatu gurauan!” tandasnya. Ulama sejuta umat, Almarhum KH Zainuddin MZ, tak tinggal diam, “Adanya kasus Monitor tampaknya mengganggu kerukunan beragama yang selama ini terbina.”

Sebelum lebih runyam, Arswendo minta bantuan Emha Ainun Nadjib. Cak Nun angkat tangan dengan alasan massa bukan hanya dari basisnya di Jawa Timur, tapi juga dari tempat-tempat lain. Arswendo kelabakan, berlindung ke Kepolisian, dan memohon maaf secara terbuka, “Saya minta maaf. Sedikit pun saya tidak bermaksud menyengsarakan saudara-saudara semua.” Ia juga menyatakan penyesalannya, “Tanpa ada yang memberi tahu pun, harusnya sudah tahu. Nyatanya saya bego. Sangat bego. Jahilun.” 

Penyesalan tidaklah cukup. Arswendo dibui 5 tahun. Monitor pun dilarang terbit. Pada 23 Oktober 1990, SIUPP nomor 194/1984 dicabut oleh Menteri Penerangan Harmoko, padahal dia juga pemilik saham Monitor sebesar 30%.

source: Rep: Mesyah Achreini/Red: shodiq ramadhan/suaraislam/Senin, 11 Juni 2012 | 16:47:06 WIB



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar