Laman

Selasa, 03 April 2012

Gus Hamid: Kaum Pluralisme Ingin Hilangkan Otoritas Ulama

DEPOK  - Selama ini umat Islam dicekoki oleh ide pluralisme di seminar-seminar dengan menghadirkan tokoh-tokoh pluralis. Ide dan wacana yang mereka tebarkan, seolah tidak ada masalah.  
 
Padahal ini adalah masalah yang sangat besar.  Jika pluralisme menjadi undang-undang, maka para pendakwah tidak boleh lagi menegakkan amar maruf nahi munkar.

“Pada akhirnya Pluralisme itu tidak lagi sebatas golongan dan agama, tapi juga pluralisme pendapat. Sebagai contoh, kini mulai berkembang pluralisme dalam tafsir. Satu ayat 1000 tafsir,  akibatnya ada banyak kepala dan siapapun boleh menafsirkan,” kata Direktur INSIST Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi  dalam Peluncuran buku terbarunya “MISYKAT: Islam, Westernisasi, dan Liberalisasi” di Masjid Darussalam, Komplek Griya Tugu Asri, Depok, Ahad (1/4) lalu.

Menurut Gus Hamid -- begitu ia disapa oleh sesama rekannya di INSIST --  ilmu itu mempunyai herarki dan otoritas. Jika ilmu ekonomi saja ada otoritasnya, begitu juga dengan ilmu agama.
Ketika ilmu agama dihilangkan herarki dan otoritasnya, maka umat tidak perlu lagi bertanya pada ulama. Karena, siapapun boleh  menjawab dengan tafsir menurut kemauannya sendiri.

Lebih jauh, Gus Hamid bercerita, empat tahun yang lalu, seorang dosen UIN mengatakan, bahwa seorang Atheis pun bisa menafsirkan al-Qur’an. Bahkan ironisnya, seseorang yang punya kasus seksualitas pun berhak menafsirkan Al-Qur’an. Mereka menilai, Al-Quran menjadi porno sekali bagi dia. Inilah yang disebut kerancuan pemikiran. “Bayangkan, kini sudah ada kyai feminis asal Cirebon. Kalau kyai itu poligami, maka gerakan feminis bubar dengan sendirinya.”

Dikatakan Gus Hamid, sekarang orang  tiba-tiba bicara sekularisme, pluralisme dan liberalisme (sepilis). Mereka menunjukan dirinya serba sok pluralis dan demokratis dalam segala hal. Sedangkan  kaum perempuannya bersemangat bicara kesetaraan gender. Ada apa ini?

Gus Hamid menyesalkan ketika demokrasi dalam bidang keagamaan mentolerir aliran sesesat apapun. Sehingga tidak boleh menghukumi orang lain salah. Itulah demokrasi. Menyundul orang dengan takbir dianggap salah besar. Tapi kalau mahasiswa membakar  dan merusak fasilitas umum, tidak dipersoalkan. Ketika kita melarang berbuat maksiat, lalu dibalikin memangnya tidak pernah berbuat maksiat, seraya mengatakan jangan merasa benar sendiri.

“Inilah yang sekarang menghegemoni wacana keagamaan kita. Wacana yang masuk ke dalam pikiran umat Islam itu berasal dari elit terpelajarnya, politisinya, dan tokoh  Islamnya tanpa disadari,” ujarnya.  

Kutipan :
Desastian / VoA-Islam
Selasa, 03 Apr 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar