JAKARTA (VoA-Islam) – Sudah jelas ditegaskan oleh Ketua Pansus RUU Ormas, bahwa RUU Ormas ini bukan dikhususkan untuk FPI, namun tetap saja, peserta diskusi yang hadir justru menyudutkan FPI yang selama ini dikenal sebagai ormas pembela Islam.
Ponijan Law, perwakilan dari agama Budha, misalnya, ia mengusulkan agar FPI mengganti namanya, karena terkesan provokatif. Kata “Front”, kata Ponijan, seperti yang ia lihat di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bermakna memberi perlawanan. “Ini membahayakan. Saya usul, agar kata Front diganti saja dengan Forum. Karena itu, mengenai nama dan lambang sebuah ormas, hendaknya tidak provokatif, diskriminatif dan represif,” tukas Ponijan sinis.
Pendapat sinis serupa juga diungkap Najamudin dari Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, kata pembela Islam terkesan hanya FPI saja yang membela Islam. Sedangkan NU dan Muhammadiyah tidak. “Aneh,” kata Najamudin.
Ponijan mempertanyakan, ketika sebuah ormas melakukan pelanggaran, lalu siapa yang akan memberikan sanksi? Ia memberi contoh, di Tanjung Balai Asahan, sebuah Pagoda tingginya melebihi menara masjid mendapat protes dari umat Islam di sana. Ia juga menuduh FPI disana melarang umat Budha untuk melakukan ibadah, seperti halnya jemaat GKI Yasmin.
“Jadi, bagaimana mekanisme pelaporannya, atau batas waktu penyelesaiannya, sehingga Pemda setempat punya tanggungjawab dengan memberikan sanksi. Harus ada klausul yang jelas, agar tidak terkatung-katung,” tukas Ponijan yang juga mengajar di Binus.
Sementara itu, Romo Beny Susetyo, perwakilan dari Konferensi Wali Geraja Indonesia (KWI), mengatakan, dalam RUU Ormas tersebut harus ada paradigma yang jelas. Ia mempertanyakan, apakah semua ormas yang ada harus terdaftar, lalu bagaimana mekanisme bantuannya. Begitu juga bila terjadi sengketa di tubuh ormas, apakah harus diintervensi? Selain iitu, mengenai proses pembubaran ormas, siapa yang berhak memutuskan, apakah Mendagri atau Menhukham?
Sedangkan KS. Arsana mengusulkan, agar Majelis Agama tidak dimasukkan dalam kategori ormas. DPR hendaknya membuat UU Majelis Agama. Ia juga setuju, ormas anarkis harus diberi sanksi tegas.
Jeirry Sumampow , perwakilan dari PGI, mengetakan, UU No. 8 Tahun 85 hendaknya tetap berlaku. Selama ini sudah ada dua UU, yakni UU Yayasan dan UU tentang Perkumpulan. Ia mempertanyakan, apakah sama LSM kecil dengan ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah. Apakah tidak cukup dengan kedua UU yang ada. Ia menyatakan setuju, ormas anarkis harus ditertibkan.
“Persoalan sebetulnya ada di penegakan hukum. Untuk apa ada UU, jika perangkat supresmasi hukumnya lemah. Yang menjadi masalah kemudian, apakah ormas siap diatur jika UU itu diberlakukan. Padahal UU itu berfungsi untuk mengatur dan membina,” kata Sumampao.
Dalam sebuah sesi tanya jawab, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto, yang hadir sebagai peserta diskusi, mengatakan, negara jangan menindas ormas, karena selama ini ormas banyak membantu negara. Dalam konteks politik, perdebatan asas tunggal Pancasila hendaknya tidak disinggung lagi. “Kita jangan menarik jarum jam ke belakang, sebab akan menimbulkan pertentangan politik baru,” kata Ismail.
Kutipan :
Desastian / VoA-Islam
Selasa, 28 Feb 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar