Jakarta - Sebanyak 30 orang da’i yang tergabung dalam Majelis Silaturahmi Kiai dan Pimpinan Pondok Pesantren se-Indonesia (MKSP3I) mendapat pelatihan dari BIN, BNPT dan Puslitbang Kemenag selama dua hari (12-14 November) di di Hotel Millenium Jakarta.
Pelatihan ini akan ditindaklanjuti dengan mengirimkan para da’i ke berbagai tempat yang rawan masuk “ajaran radikal”. Demikian dikatakan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag Prof Abdul Djamil di sebuah situs resmi Kemenag RI.
“Usai acara ini, mereka langsung ditempatkan di Bogor, Indramayu,
Sukabumi, Kuningan, Cirebon, Pandeglang, Mesuji, Solo, Karanganyar,
Sampit, Sampang, hingga Kediri,” ujar Abdul Djamil usai pembukaan
Halaqoh Ulama dan Launching dai Rahmatan Lil Alamin Senin (12/11).
Menurut Prof Djamil, halaqah membahas berbagai isu-isu aktual
problematika umat bertajuk “Memahami Keberagamaan di Indonesia dan
Menegakkan Prinsif Islam Rahmatan Lil Alamin dalam Kehidupan berbangsa
dan Bernegara”. Narasumbernya Ketua Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme Ansyad Mbai, tokoh nasional, cendekiawan, dan akademisi.
Sedangkan pembekalan Dai Rahmatan Lil ‘Alamin merupakan kegiatan
lanjutan setelah Halaqoh. Pembekalan bertujuan untuk memberi wawasan
pengetahuan serta pemahaman tentang kegiatan dakwah di lapangan yang
meliputi aspek, deskripsi geografis, demografis, dan aspek aktivitas
dakwah.
“Para da’i diarahkan dakwahnya untuk ikut memerangi perbuatan
asusila, korupsi, narkoba, tawuran, dan konflik horizontal,“terang Prof
Djamil. Mereka juga harus bisa mengupayakan penanaman nilai dan perilaku
kemanusiaan di setiap ideologi umat.
Ketua Umum MSKP3I Noer Muhammad Iskandar SQ menegaskan siap
memberikan pencerahan bagi rakyat Indonesia yang tergabung dalam
kelompok yang radikal ataupun kelompok yang longgar terhadap nilai-nilai
keislaman. “Aliran sesat timbul karena miskinnya silaturahim. Kami siap
menyebarkan lagi ajaran ahlussunah wal jamaah hingga ke pelosok agar
selamat dari kelompok ekstremis,” tegasnya.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra menilai tradisi
keberagaaman Indonesia pada dasarnya unik. Umat, ujarnya, tidak perlu
mendebatkan perbedaan yang ada. “Kita seharusnya sudah bisa melakukan
sharing dan giving berupa ritual. Justru ajaran Islam yang saling
bergesekan, bisa disalahgunakan atas nama demokrasi dan kebebasan
memudahkan sebuah kelompok mengkafirkan orang lain,“ungkapnya.
Azyumardi memandang sebagai sebuah tantangan bagi pemerintah dan
ulama. Dia berpesan, pihak-pihak tadi harus memelihara institusi, tempat
ibadah, sekolah Islam, dan perguruan tinggi Islam harus diamankan agar
tidak memprovokasi.“Sering-seringlah pemimpin ponpes dan pemimpin
masyarakat berkhotbah di tengah lingkungan. Khotbah itu penting karena
bisa jadi sarana memberikan perspektif pemikiran pada umat,“harapnya.
Azyumardi juga ingin agar pemerintah dan ulama mendekati setiap
lapisan masyarakat untuk berdialog. Berikut menanamkan rasa
nasionalisme. Hal tersebut untuk menghindari sektarianisme dan pembedaan
mahzab seperti di Timur Tengah.
Rois Syuriah Nahdlatul Ulama KH Masdar Farid Mas’udi kemudian ikut
menilai umat Islam harus siap dengan segala perbedaan karena mempunyai
propabilitas beda paling tinggi. “Untuk menanggulanginya, negara juga
tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap pemeluk agama mayoritas
dengan minoritas,” papar Wakil Ketua Dewan Masjid Indonesia ini.
Pentingnya pemerintah ikut campur, menurutnya, lantaran isu perbedaan
mahzab kini diselipi politik. Bukan lagi terkait umat, tapi juga
berebut kekuasaan. Konflik keagamaan ini disebutnya beragenda ideologis
politik. “Prinsip menghalalkan segala cara menjadi stadium konflik beda
mahzab menjadi berdarah-darah,“lanjut Farid.
source
voaislam/rabu,14nov2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar