JAKARTA - Tidak ada kebebasan yang mutlak, apalagi sampai membuat orang lain terusik. Dikatakan Direktorat II Jaksa Agung Muda Intelijen Kejagung RI, H. Erryl P. Agus, SH, MH, pelarangan buku tetap akan diberlakukan. Tentu jika buku itu dinilai melanggar kesusilaan, penodaan agama, mengganggu ketertiban umum, menimbulkan gejolak dan kerusuhan di masyarakat serta perpecahan bangsa. Masyarakat dapat melaporkannya ke Kejagung maupun polisi.
“Jika terbukti menganggu ketertiban umum, bisa saja pihak Kejagung melakukan pelarangan, namun tetap harus melalui proses pengadilan dengan memanggil penulis dan penerbitnya, kata Erryl dalanTalkshow “Masih Ada Pelarangan Buku Islam?” di Islamic Book Fair ke-11, Istora Senayan, Jakarta, Jumat (16/3) kemarin.
Erryl memberi contoh, buku berjudul “Aku Bangga Jadi Anak PKI” yang ditulis oleh Ribka Tjiptaning (anggota DPR Komisi IX PDIP). Ketika diteliti, ternyata isinya tidak seperti yang dituduhkan orang sebagai buku yang menebar paham komunis. Erryl melihat, buku itu hanya berkisah tentang seorang anak PKI yang sukses menjadi seorang dokter. Judul buku tersebut harus diakui terkesan kontroversial, tapi isinya biasa saja.
Buku lain, seperti yang ditulis oleh Bob Sadino, yakni “Goblok Kalau Ke Sekolah”. Menurut Erryl, buku ini memang bisa berbahaya dan meracuni bagi anak-anak usia sekolah untuk tidak mau lagi sekolah. Tapi karena tidak ada gejolak di masyarakat, maka pihak Kejagung tidak akan melakukan tindakan apapun.
Sebelum PNPS dicabut, biasanya pihak penerbit mengirim buku yang diterbitkannya ke Kejagung, tapi kini sudah tidak dikirim lagi. Erryl mengakui keterbatasan SDM yang kurang, pihaknya tidak mungkin setiap hari ke toko buku.
Sementara itu dikatakan Achmad Michdan, jika kejagung mengambil buku sebagai alat bukti, itu merupakan pelanggaran dan bentuk perampasan, bisa dilakukan penuntutan. Buku yang dinilai mengganggu ketertiban, bisa dilaporkan. Jika isi buku itu berkaitan dengan ajaran Islam, maka pihak Kejagung bisa mengundang MUI untuk melakukan pembahasan. Atau jika terkait masalah kesehatan, maka dapat mengundang para pakar di bidang kedokteran. Jadi bisa diuji materil menurut hukum-hukum Islam, jika buku tersebut tantang hal-hal yang berkaitan dengan keislaman.
Yang menarik dalam talshow tersebut, ada peserta diskusi yang mewakili Toko Buku Gunung Agung, pernah mendapatkan surat dari seorang lawyer agar tidak menjual beberapa buku di tokonya, diantaranya buku tentang jihad. Kasus itu menyeretnya hingga ke pengadilan. “Pada akhirnya kami tidak mau ambil resiko jika memang ada buku yang dinilai kontroversial,” kata seorang ibu dari Gunung Agung.
Namun, ditegaskan kembali oleh Erryl dan Achmad Michdan, bahwa pihak manapun tidak bisa melarang atau menyita buku yang diperjual-belikan tanpa melalui proses pengadilan.
Peserta diskusi lainnya juga mempersoalkan buku yang ditemuinya di sebuah Toko buku Gramedia, judulnya biasanya, namun isinya ternyata sangat provokatif dan menghina agama Islam. Seharusnya pemerintah, dalam hal ini Kejagung menindaklanjuti tanpa harus menunggu reaksi masyarakat. Antisipasi itu semestinya dilakukan.
Kutipan :
Desastian / VoA-Islam
Sabtu, 17 Mar 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar