Laman

Senin, 19 Maret 2012

Sebagian kalangan Islam menerapkan standard ganda untuk kasus kejahatan seksual

Kalau diperhatikan dengan seksama, sebagian kalangan Islam cenderung menerapkan standard ganda untuk kasus kejahatan seksual atau perzinahan. Misalnya, kasus pencabulan, homoseksualitas dan pedofilia yang terjadi pada sosok Habib Hasan Assegaf disikapi biasa-biasa saja oleh kalangan Islam. Berbeda ketika Ariel Peterpan yang video perzinahannya tersebar luas, sebagian kalangan Islam menyikapinya dengan pawai sambil membawa poster, luar biasa meriah.
Padahal, kejahatan seks yang dilakukan Ariel Peterpan tidak lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan kejahatan seksual yang dilakukan oleh Habib Hasan Assegaf. Karena, sosok Ariel jauh dari domain agama, jauh dari ranah dakwah Islam. Sedangkan Habib Hasan Assegaf justru menobatkan diri sebagai penceramah agama Islam, pendakwah Islam, dan sebagainya yang lekat dengan Islam.


Ariel Sang Penzina
Ariel Peterpan adalah salah satu sosok terkenal di dunia hiburan yang dekat dengan kemaksiatan, termasuk seks bebas. Jadi, peluang dia melakukan free sex atau perzinahan sangat terbuka lebar. Sedangkan sosok Habib Hasan Assegaf berada di dunia dakwah dan taklim, yang seharusnya jauh dari peluang melakukan kejahatan seksual. Namun toh terjadi juga.
Apalagi, yang dilakukan Habib Hasan Assegaf bukan sekedar kejahatan seks, tetapi kesesatan akidah. Contohnya, ia mengaku wali bahkan nabi kepada korban-korbannya. Selain itu, Habib Hasan Assegaf ini juga diduga berpaham sesat syi’ah yang merupakan induk kesesatan. Tapi, kenyataannya, sebagian kalangan Islam menyikapinya dengan dingin-dingin saja, tidak sehangat menyikapi kejahatan seksual yang dilakukan Ariel Peterpan.
Begitu juga ketika pada Oktober 2010, terungkap kasus asmara ilegal antara sosok bernama Aida Saskia dengan seorang kyai yang kini sudah meninggal, sebagian kalangan Islam justru mencari-cari kesalahan Aida sang korban. Ini jelas tidak adil dan zhalim. Padahal yang seharusnya dilakukan kalangan Islam selain tabayun adalah menjatuhkan sanksi syari’ah kepada sosok yang selama ini diidentifikasi sebagai ahli agama. Setidaknya sanksi sosial, dengan harapan hal seperti itu tidak terjadi pada sosok agamawan lainnya.
Habib Hasan bin Ja'far Assegaf
Pimpinan Majelis Ta'lim dan Zikir  
NURUL MUSTHAFA JAKARTA


Habib Hasan Sang Homo
Dalam kasus Habib Hasan Assegaf, para pendukungnya tidak tinggal diam. Mereka berupaya meng-counter pemberitaan dan opini yang mendiskreditkan sang Habib. Bahkan ada yang secara kreatif tapi ngawur, menyamakan kasus sang Habib dengan kisah Nabi Yuusuf Alaihissalam (QS Yuusuf ayat 23-29). Ini jelas penodaan, karena kisah Nabi Yuusuf Alaihissalam adalah wahyu Allah kepada Muhammad Rasulullah, sehingga sama sekali tidak bisa disamakan dengan kasus Habib Hasan Assegaf.
Dalam kisah Nabi Yuusuf Alaihissalam, sang pemuda tampan ini dalam posisi menampik ajakan berzinah yang ditawarkan Zalikha istri pembesar Negeri Mesir saat itu. Sedangkan dalam kasus Habib Hasan Assegaf, justru sang Habib yang berinisiatif melakukan kejahatan seksual. Bahkan untuk meyakinkan korbannya, sang Habib mengaku Wali dan Nabi. Astaghfirullah…
Dalam perspektif syari’ah, kasus Habib Hasan Assegaf jauh lebih tinggi derajat penodaannya dibandingkan kasus Ariel Peterpan. Namun sebagian kalangan Islam terlihat dingin, dan cari aman. Apakah ini merupakan fenomena lemahnya iman di kalangan mujahid dakwah kita? Wallahua’lam.
Untunglah ada sosok wanita solehah bernama MARYAM, seorang guru ngaji asal Jagakarsa, Jakarta Selatan, yang punya keberanian luar biasa membongkar kejahatan seksual sang Habib. Padahal, Maryam sempat disomasi oleh sang Habib. Bahkan, Maryam pernah diberitakan telah meninggal dengan mulut terbuka akibat memfitnah sang Habib. Tapi Maryam tak gentar. Ia terus mengungkap kasus kejahatan seksual sang Habib hingga kasus tersebut dilaporkan ke Polda Metro Jaya pada 16 Desember 2011.
Keberanian Maryam menjadi sangat berarti di tengah-tengah sikap dingin dan cari aman sebagian kalangan Islam terhadap kasus kejahatan seksual ini. Sebagian dari mereka bersembunyi di balik dalih mekanisme tabayyun dan azas praduga tak bersalah. Ketika sosok mujahidah terlihat lebih berani dari mujahid, barangkali kita patut bertanya, “apakah sudah tidak ada lagi laki-laki pemberani?”
Tontowy Djauhari Hamzah
Tebet Timur Dalam VI-A No. 09
Jakarta Selatan 12820
Kutipan :
Saif Al Battar / arrahmah
Senin, 19 Maret 2012 17:30:33
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar